Wednesday, September 18, 2002

Kereta Senja dan Selai Srikaya


Terbangun oleh embun. Dingin menyusup perlahan di sela-sela pintu kereta.

Kalya merapatkan duduknya, menatap hamparan pemandangan di luar yang sangat disukainya : malam yang telah binasa oleh kemenangan semburat pagi. Ada rasa yang sama di hati Kalya, kemenangan kecil akan ratusan kilometer perjalanan yang hampir tiap dua minggu ditempuhnya.

"Aku akan tetap tinggal di sini, matahariku. Melihat anak kita tumbuh, sebagaimana aku menjadi saksi tumbuhnya pepohonan di halaman rumah kita."

Kata-kata Ray, suaminya itu, selalu terngiang setiap Kalya akan memulai perjalanan dengan kereta senja di akhir pekan, dari Jakarta tempat dia bekerja ke sebuah kota kecil dekat Surabaya, tempat di mana Ray dan Vita anaknya tinggal.

Hampir setahun lalu, Kalya tersandera oleh suasana yang sangat tidak dimengertinya. Ray, suami yang dia banggakan itu memutuskan untuk berhenti bekerja. Kalya tidak habis pikir, Ray yang penuh semangat, ambisius, tegas dan gigih itu tiba-tiba mengalah pada keadaan yang sebenarnya bukan mutlak salahnya. Ray berubah menjadi sentimentil, pengkhayal dan lebih suka berlama-lama di rumah.

"Beberapa bulan lagi, Vita akan masuk sekolah. Aku ingin membawa dia, menyekolahkan dia di kampung dan melihat dia tumbuh dari hari ke hari. Kamu bisa tetap tinggal di sini, Kalya. Karirmu sedang bagus dan kamu mendapatkan apa yang kamu cari selama ini di sini."

Masih saja terngiang kata-kata Ray, mengembara di belantara benaknya untuk kemudian berujung di ketidakmengertian. Ada apa dengan Ray ? Hingga pada suatu pagi, dia beranikan melontarkan pertanyaan itu ke Ray, sambil menikmati sarapan pagi yang mereka sukai : roti dengan selai srikaya.

"Aku akan tetap bertanggungjawab terhadap rumah tangga kita. Aku akan tetap mencari nafkah. Justru keputusan ini aku buat karena aku bertanggungjawab. Aku ingin banyak waktu buat Vita, sebelum terlambat."
"Kalau hanya karena Vita, aku rela yang berhenti bekerja, mas."
"Tidak ada yang harus berhenti kerja, Kalya."
"Tapi mengapa harus pergi dari sini ?"
"Aku punya tempat yang sesuai untukku dan untuk Vita, setidaknya untuk saat-saat seperti ini. Di kampung nanti aku bisa tetap bekerja jadi konsultan dan mengerjakan beberapa proyek penulisanku"
"Bukankah persoalan mas di tempat kerja sudah selesai ? Kalau pun mas memutuskan keluar, banyak kan yang menawari mas di sini."
"Benar, Kalya. Tapi aku sendirilah yang tahu buatku...dan buat kita."

Desir angin dari celah pintu kereta itu kembali menyibakkan rambut Kalya, sekaligus menyadarkannya dari kembara lamunannya : tentang Ray, tentang orang tuanya, tentang masa kecilnya, tentang pertengkarannya dan tentang semua episode-episode kehidupan yang dia jalani dengan Ray. Kalya merasakan penggalan demi penggalan kehidupannya itu semakin membawa dia kepada pemahaman dan kedekatannya dengan Ray, suaminya. Cinta yang gemerlap oleh terpaan masa.

Dan, seperti penggalan kehidupan yang akhir-akhir ini sering dilaluinya, dia akan sampai pada episode ketika dia menemui keluarganya dengan kereta senja itu. Lalu ketika tiba paginya, disambut dengan hidangan roti selai srikaya buatan suaminya.

Sungguh, senyum yang terkembang ringan di raut wajah Kalya pagi itu, mampu memberikan kesejukan pemandangan kepada orang-orang yang baru bangun, di kereta itu.

Ah, indahnya keikhlasan......

Seraut Wajah yang Rebah di Dadaku

Senja bergegas pergi menyisakan semburat ungu pada kisi-kisi jendela kamarku. Aku menikmati sisa semburat itu dengan getar perasaan yang khidmat. Adakah yang lebih indah, dari merayakan kepergian senja dengan keheningan yang riuh seperti saat ini ?

"Pras ?"
"Hmmm..."
"Apakah cinta bisa menjerat ?"

Aku tahu Rani mengajakku bicara. Tapi aku masih terbuai merasakan keindahan yang hampir sempurna kumiliki. Senja yang damai, seraut wajah mungil yang rebah di dadaku dan getar-getar yang sulit aku lukiskan. Kubelai rambut Rani yang menipis, jelas kulihat seraut wajah yang tak kalah indahnya dengan pesona yang dipersembahkan senja saat dia beranjak pergi. Kami sering menikmati saat-saat seperti ini. Melepas senja dari kamar kami, dan Rani yang merebahkan wajahnya di dadaku.

"Pras......"
Aku masih diam.
"Kalau minggu depan aku masih hidup, berarti Tirto semakin banyak salahnya ya....." Rani mengucapkan kalimat itu dengan datar, sambil menyebut nama dokter yang pertama kali memberitahukan kepadaku tentang kanker yang menggerogoti tubuh Rani, istriku.
"Ah, kok aku jadi ingin nelpon Tirto...." lanjutnya.

Aku masih enggan menanggapi pembicaraan Rani, entah mengapa. Sudah hampir satu bulan ini, kami selalu melepas senja dari kamar kami dengan pembicaraan yang mengalir lancar. Tapi akhir-akhir ini aku lebih suka menikmatinya dalam diam. Rumah ini baru kami tinggali setelah kami memutuskan berhenti bekerja. Rani lebih cepat berhenti beberapa bulan dariku, tepatnya sejak dia memutuskan untuk keluar dari rumah sakit itu dan mengajukan pengunduran diri secara resmi di perusahaannya. Tiga bulan kemudian, ketika Rani memutuskan berhenti menjalani klepmoterapi, aku menyusul berhenti bekerja. Lalu kami memutuskan tinggal di sini, sebuah rumah berhalaman luas di pinggir kota.

Dulu, meski tak sekhidmat saat ini. Kami juga sering menikmati senja dari apartemen kami. Itu sering kami lakukan pada akhir pekan. Tapi terus terang kami tidak sungguh-sungguh menikmati senja. Karena kami selalu tenggelam dalam gelora cinta dan terdampar ketika senja sudah benar-benar tiada.

Hingga kemudian aku tak mempedulikan lagi senja ketika Tirto, sahabat kakak Rani yang menjadi dokter itu menepuk pundakku dan berkata, "Baru ketahuan setelah stadium dua, Pras.... bertahan 4 bulan itu sudah bagus."

"Pras...."
Lirih suara Rani menghentikan lamunanku. Kupeluk tubuh rapuh itu erat.
"Kamu tidak merasa terjerat, kan ?"

Senja sudah tak peduli lagi akan sisa-sisanya yang mempesona. Kini semburat ungu itu sirna. Malam telah menjelang sempurna. Tapi aku masih bisa melihat semburat ketenangan pada seraut wajah yang rebah di dadaku. Wajah pasrah dengan mata terpejam.

Kuraih jemari Rani yang ringkih. Kurasakan tangannya yang dingin. Lalu, ada hembusan halus di dadaku. Itulah kehangatan terakhir yang diberikan Rani kepadaku. Setelahnya, aku hanya mampu memeluk tubuh rapuhnya yang makin dingin.

Dan tak bernapas.

Bram, di line 3

"Ini harus segera kita eksekusi, Din. Harus !"
"Bukankah mereka sudah hampir final menguasai proyek itu?"
"Ah, kamu ini......"

Dina menghela napas panjang, memandang punggung Irin yang meninggalkan ruangan kantornya.

Irin. Hmm, nama itu begitu menguasai pikiran Dina akhir-akhir ini. Bukan semata-mata karena beban kerjanya yang kian menumpuk dua bulan ini. Bukan juga karena perjalanan yang harus dia tempuh untuk menyelesaikan proyek pembuatan dokumentasi film yang sedang dikerjakannya bersama Irin, sahabatnya sejak kecil.
Pikiran yang merajai benak Dina, justru bukan pada proyek itu, namun karena Irin. Dina merasa sedang berhadapan dengan sosok lain. Bukan Irin yang dia kenal selama ini. Bukan Irin yang sangat bersahaja. Bukan Irin gadis yang suka mengikat rambutnya dengan pita hijau kesukaannya. Bukan Irin yang selalu berusaha melucu ketika tahu dirinya sedih. Tapi adalah Irin yang.....

Lamunan Dina buyar. Suara telepon di ruangan Dina berbunyi, diangkatnya dengan enggan.
"Aku nggak mau tahu soal Bram. Tapi aku juga nggak mau menekan kamu. It's depend on you. Aku justru mau lihat seberapa besar kesetiaanmu terhadap perusahaan yang susah payah kita bangun dari kecil ini. Pasti sebentar lagi Bram menelpon kamu. Terserah kamu mau berkeputusan apa."
Kata-kata Irin meluncur bagai bilah-bilah nada yang tak tertata dan sulit dicerna. Tapi Dina memahaminya. Setidaknya semakin yakin apa yang harus dia lakukan.

Kesetiaan. Irin akan menguji kesetiaanku pada perusahaan ini. Guman Dina sambil memainkan pena kesayangannya.
"Kesetiaan itu hasil, sayang....."
Terngiang suara Pandu, kekasihnya. Dina tidak begitu memperhatikan kata-kata Pandu ketika mengucapkan itu.
"Ya, kamu melakukan apa dan bagaimana, baru nanti akan ada hasilnya, ya kesetiaan itu....jadi kesetiaan itu hasil dari tindakan. Bukan tindakan itu sendiri."
Dina masih teringat Pandu mengucapkan itu. Juga teringat ketika Dina membalas ucapan Pandu.
"Jadi, jika Mas Pandu bekerja dengan baik, tekun, jujur...maka mas akan menghasilkan kesetiaan pada perusahaan tempat mas bekerja ?"
Tawa Pandu yang khas dan sangat disukai Dina berderai.
"Aku hanya setia pada sesuatu yang punya perasaan. Perusahaan kan ngga punya perasaan, Din."
"Maksudnya ?"
"Maksudnya.....aku hanya setia ama kamu!"

Dina tersenyum. Ada kesejukan yang mengalir di rongga dadanya. Begitulah kalau dia berbicara dengan Pandu. Sering tidak ada subtansi dan ujung pangkal yang jelas. Tapi Dina suka itu. Sangat suka. Baginya pembicaraan seperti itu bagaikan oase yang memang dia butuhkan di sela penat pekerjaan sehari-hari.

"Ada Pak Bram di line 3, Bu." Suara sekretarisnya mengejutkan lamunannya tentang Pandu.
"Saya sekalian pulang, Bu. Selamat malam"
Dina tidak menjawab. Diraihnya gagang telepon itu di antara sisa-sisa bayangan tentang Pandu.
"Malam, Din. Ini aku Bram. Aku pasrah deh. Irin ngasih komisi yang sangat besar ke orang dalam. Kalau kamu butuhin bahan-bahannya, besok bisa ke kantorku. Atau aku kirim kurir ke kamu ?"
Masih ada saja sisa bayangan wajah Pandu, saat Dina mendengar kalimat panjang Bram, mantan suami Irin.

"Bram, kamu ngapain sih ? nerocos kayak gitu. Ini soal apa ?"
"Sudahlah, Din. Aku yakin kamu tahu. Ini soal proyek di Namirai."
"O, itu. Kamu kan yang sudah akan mendapatkan."
"Ya, tapi akhirnya mereka akan menyerahkan ke kamu."
"Ke Irin, maksudnya ?"
"Apa bedanya ?"

Entah keinginan dari mana, tiba-tiba Dina membandingkan Bram dengan Pandu. Dulu, Dina sering merasa cemburu ketika tahu Irin menikah dengan Bram.
"Kamu beruntung sekali, Rin, mendapatkan dia"
Begitu sering ia ucapkan itu kepada Irin. Biasanya Irin hanya menjawab dengan senyuman. Atau acuh tak acuh.

"Din. Haloo..."
"Ya, Bram, aku masih di sini"
"Oh, ya sudah. Aku hanya ingin ngasih tahu itu. Selamat ya."
"Tunggu, Bram"
"Ya ?"
"Aku memutuskan tidak melanjutkan tender itu. Kamu yang lebih berhak mendapatkannya."

Sesaat diam. Dina meraih gelas di mejanya yang tinggal tersisa sedikit air putih.

"Irin melakukan ini semua hanya untuk menunjukkan bahwa dia bisa mengalahkan kamu. Bukan karena kami lebih pantas mendapatkan proyek ini."
Mantap Dina berkata, sambil meneguk sisa air di gelasnya.
"Din...."
"Sudahlah, Bram. Ini keputusanku. Maaf, aku ada janji dengan Pandu malam ini."
"Lalu bagaimana dengan Irin ?"
"Aku masih setia padanya. Aku lakukan ini karena aku menyayanginya. "
"Maksudmu ? Lalu gimana dengan perusahaan kalian ?"
"Sudahlah, Bram. Terusin saja tendermu. Tidak akan ada yang menghalanginya. Salam buat Deo, ya." kata Dina sambil menyebut nama anak Bram, buah pernikahannya dengan Irin. "O, ya. Bilang ama Deo, email dia sudah aku terima. Gaya banget ya dia, kecil-kecil sudah bisa ngirim email."
"Ah, itu aku yang bikin."
"Ooo...jadi kata 'sayang' di situ dari kamu ya, bukan dari Deo ?"
"Hahahahaaa......"
"Oke, Bram. Selamat malam. "

Dina meletakkan begitu saja telepon itu. Sementara di seberang, Bram terdiam dengan sisa pertanyaan yang dia tidak tahu harus disampaikan ke siapa pertanyaan itu. Apalagi memperoleh jawabnya....

Malam Terajam Kelam


Bentangan kerlip pijar cahaya di gedung itu mengingatkan Joe pada sebuah malam yang pernah dilaluinya dengan Audrey. Malam begitu pekat oleh kegalauan, meskipun kerlip bintang tak meminta balas untuk terus menerangi pembicaraan mereka.

"Maafkan, Joe. Aku terlalu mencintaimu. Sangat. Untuk itulah aku ingin pergi dari kamu,"
Suara Audrey itu masih diingat benar oleh Joe, sebagaimana dia tidak lupa akan suara semilir angin yang mampu meredam kegalauannya ketika itu, walau sesaat.
"Kamu mencintaiku, tapi kenapa pergi dari aku ?"
Andai saja Joe mampu mengucapkan itu di depan Audrey saat itu. Ah, kenapa begitu berat menjaga suasana ?

Storm Warning mengalun lembut, mengalir di sela sela ruangan kantor Joe yang senyap. Diusahakannya memungut kepingan-kepingan kenangan yang terserak di ruang masa lalunya bersama Audrey. Dengan itu Joe berharap, dia tidak berubah menjadi benci kepada Audrey yang akan meninggalkannya.

Dering telepon genggamnya menyambut Hillary James menuntaskan Storm Warning. Joe menghela napas, ketika dia tahu Audrey yang menghubunginya. Sekejab senyap, hingga suara halus itu menyentak benak Joe.
"Joe, aku pergi malam ini. Selamat tinggal, " Suara Audrey di seberang terasa lembut bagi Joe, meski dia sadar bukan kalimat itu yang diharapkannya. Bagi Joe malam itu, kata perpisahan Audrey sama lembutnya ketika Audrey banyak bercerita tentang kesehariannya. Sama lembutnya ketika mereka bercanda, bahkan sama lembutnya ketika mereka berdebat.

Storm Warning sudah benar-benar menghilang dari ruangan kantor Joe, namun kerlip pijar di luar masih genit memamerkan pesonanya. Seakan tidak rela terenggut oleh kelam, yang pasti datang.
"Joe....."
"Ya, aku di sini, untuk melepasmu...."
Senyap begitu ramai merasuk di kedua benak mereka. Malam pun kian terajam --oleh kelam -- tapi tidak di hati Joe, karena dia telah ikhlas membebaskan cinta....