Wednesday, September 18, 2002

Seraut Wajah yang Rebah di Dadaku

Senja bergegas pergi menyisakan semburat ungu pada kisi-kisi jendela kamarku. Aku menikmati sisa semburat itu dengan getar perasaan yang khidmat. Adakah yang lebih indah, dari merayakan kepergian senja dengan keheningan yang riuh seperti saat ini ?

"Pras ?"
"Hmmm..."
"Apakah cinta bisa menjerat ?"

Aku tahu Rani mengajakku bicara. Tapi aku masih terbuai merasakan keindahan yang hampir sempurna kumiliki. Senja yang damai, seraut wajah mungil yang rebah di dadaku dan getar-getar yang sulit aku lukiskan. Kubelai rambut Rani yang menipis, jelas kulihat seraut wajah yang tak kalah indahnya dengan pesona yang dipersembahkan senja saat dia beranjak pergi. Kami sering menikmati saat-saat seperti ini. Melepas senja dari kamar kami, dan Rani yang merebahkan wajahnya di dadaku.

"Pras......"
Aku masih diam.
"Kalau minggu depan aku masih hidup, berarti Tirto semakin banyak salahnya ya....." Rani mengucapkan kalimat itu dengan datar, sambil menyebut nama dokter yang pertama kali memberitahukan kepadaku tentang kanker yang menggerogoti tubuh Rani, istriku.
"Ah, kok aku jadi ingin nelpon Tirto...." lanjutnya.

Aku masih enggan menanggapi pembicaraan Rani, entah mengapa. Sudah hampir satu bulan ini, kami selalu melepas senja dari kamar kami dengan pembicaraan yang mengalir lancar. Tapi akhir-akhir ini aku lebih suka menikmatinya dalam diam. Rumah ini baru kami tinggali setelah kami memutuskan berhenti bekerja. Rani lebih cepat berhenti beberapa bulan dariku, tepatnya sejak dia memutuskan untuk keluar dari rumah sakit itu dan mengajukan pengunduran diri secara resmi di perusahaannya. Tiga bulan kemudian, ketika Rani memutuskan berhenti menjalani klepmoterapi, aku menyusul berhenti bekerja. Lalu kami memutuskan tinggal di sini, sebuah rumah berhalaman luas di pinggir kota.

Dulu, meski tak sekhidmat saat ini. Kami juga sering menikmati senja dari apartemen kami. Itu sering kami lakukan pada akhir pekan. Tapi terus terang kami tidak sungguh-sungguh menikmati senja. Karena kami selalu tenggelam dalam gelora cinta dan terdampar ketika senja sudah benar-benar tiada.

Hingga kemudian aku tak mempedulikan lagi senja ketika Tirto, sahabat kakak Rani yang menjadi dokter itu menepuk pundakku dan berkata, "Baru ketahuan setelah stadium dua, Pras.... bertahan 4 bulan itu sudah bagus."

"Pras...."
Lirih suara Rani menghentikan lamunanku. Kupeluk tubuh rapuh itu erat.
"Kamu tidak merasa terjerat, kan ?"

Senja sudah tak peduli lagi akan sisa-sisanya yang mempesona. Kini semburat ungu itu sirna. Malam telah menjelang sempurna. Tapi aku masih bisa melihat semburat ketenangan pada seraut wajah yang rebah di dadaku. Wajah pasrah dengan mata terpejam.

Kuraih jemari Rani yang ringkih. Kurasakan tangannya yang dingin. Lalu, ada hembusan halus di dadaku. Itulah kehangatan terakhir yang diberikan Rani kepadaku. Setelahnya, aku hanya mampu memeluk tubuh rapuhnya yang makin dingin.

Dan tak bernapas.