Wednesday, September 18, 2002

Bram, di line 3

"Ini harus segera kita eksekusi, Din. Harus !"
"Bukankah mereka sudah hampir final menguasai proyek itu?"
"Ah, kamu ini......"

Dina menghela napas panjang, memandang punggung Irin yang meninggalkan ruangan kantornya.

Irin. Hmm, nama itu begitu menguasai pikiran Dina akhir-akhir ini. Bukan semata-mata karena beban kerjanya yang kian menumpuk dua bulan ini. Bukan juga karena perjalanan yang harus dia tempuh untuk menyelesaikan proyek pembuatan dokumentasi film yang sedang dikerjakannya bersama Irin, sahabatnya sejak kecil.
Pikiran yang merajai benak Dina, justru bukan pada proyek itu, namun karena Irin. Dina merasa sedang berhadapan dengan sosok lain. Bukan Irin yang dia kenal selama ini. Bukan Irin yang sangat bersahaja. Bukan Irin gadis yang suka mengikat rambutnya dengan pita hijau kesukaannya. Bukan Irin yang selalu berusaha melucu ketika tahu dirinya sedih. Tapi adalah Irin yang.....

Lamunan Dina buyar. Suara telepon di ruangan Dina berbunyi, diangkatnya dengan enggan.
"Aku nggak mau tahu soal Bram. Tapi aku juga nggak mau menekan kamu. It's depend on you. Aku justru mau lihat seberapa besar kesetiaanmu terhadap perusahaan yang susah payah kita bangun dari kecil ini. Pasti sebentar lagi Bram menelpon kamu. Terserah kamu mau berkeputusan apa."
Kata-kata Irin meluncur bagai bilah-bilah nada yang tak tertata dan sulit dicerna. Tapi Dina memahaminya. Setidaknya semakin yakin apa yang harus dia lakukan.

Kesetiaan. Irin akan menguji kesetiaanku pada perusahaan ini. Guman Dina sambil memainkan pena kesayangannya.
"Kesetiaan itu hasil, sayang....."
Terngiang suara Pandu, kekasihnya. Dina tidak begitu memperhatikan kata-kata Pandu ketika mengucapkan itu.
"Ya, kamu melakukan apa dan bagaimana, baru nanti akan ada hasilnya, ya kesetiaan itu....jadi kesetiaan itu hasil dari tindakan. Bukan tindakan itu sendiri."
Dina masih teringat Pandu mengucapkan itu. Juga teringat ketika Dina membalas ucapan Pandu.
"Jadi, jika Mas Pandu bekerja dengan baik, tekun, jujur...maka mas akan menghasilkan kesetiaan pada perusahaan tempat mas bekerja ?"
Tawa Pandu yang khas dan sangat disukai Dina berderai.
"Aku hanya setia pada sesuatu yang punya perasaan. Perusahaan kan ngga punya perasaan, Din."
"Maksudnya ?"
"Maksudnya.....aku hanya setia ama kamu!"

Dina tersenyum. Ada kesejukan yang mengalir di rongga dadanya. Begitulah kalau dia berbicara dengan Pandu. Sering tidak ada subtansi dan ujung pangkal yang jelas. Tapi Dina suka itu. Sangat suka. Baginya pembicaraan seperti itu bagaikan oase yang memang dia butuhkan di sela penat pekerjaan sehari-hari.

"Ada Pak Bram di line 3, Bu." Suara sekretarisnya mengejutkan lamunannya tentang Pandu.
"Saya sekalian pulang, Bu. Selamat malam"
Dina tidak menjawab. Diraihnya gagang telepon itu di antara sisa-sisa bayangan tentang Pandu.
"Malam, Din. Ini aku Bram. Aku pasrah deh. Irin ngasih komisi yang sangat besar ke orang dalam. Kalau kamu butuhin bahan-bahannya, besok bisa ke kantorku. Atau aku kirim kurir ke kamu ?"
Masih ada saja sisa bayangan wajah Pandu, saat Dina mendengar kalimat panjang Bram, mantan suami Irin.

"Bram, kamu ngapain sih ? nerocos kayak gitu. Ini soal apa ?"
"Sudahlah, Din. Aku yakin kamu tahu. Ini soal proyek di Namirai."
"O, itu. Kamu kan yang sudah akan mendapatkan."
"Ya, tapi akhirnya mereka akan menyerahkan ke kamu."
"Ke Irin, maksudnya ?"
"Apa bedanya ?"

Entah keinginan dari mana, tiba-tiba Dina membandingkan Bram dengan Pandu. Dulu, Dina sering merasa cemburu ketika tahu Irin menikah dengan Bram.
"Kamu beruntung sekali, Rin, mendapatkan dia"
Begitu sering ia ucapkan itu kepada Irin. Biasanya Irin hanya menjawab dengan senyuman. Atau acuh tak acuh.

"Din. Haloo..."
"Ya, Bram, aku masih di sini"
"Oh, ya sudah. Aku hanya ingin ngasih tahu itu. Selamat ya."
"Tunggu, Bram"
"Ya ?"
"Aku memutuskan tidak melanjutkan tender itu. Kamu yang lebih berhak mendapatkannya."

Sesaat diam. Dina meraih gelas di mejanya yang tinggal tersisa sedikit air putih.

"Irin melakukan ini semua hanya untuk menunjukkan bahwa dia bisa mengalahkan kamu. Bukan karena kami lebih pantas mendapatkan proyek ini."
Mantap Dina berkata, sambil meneguk sisa air di gelasnya.
"Din...."
"Sudahlah, Bram. Ini keputusanku. Maaf, aku ada janji dengan Pandu malam ini."
"Lalu bagaimana dengan Irin ?"
"Aku masih setia padanya. Aku lakukan ini karena aku menyayanginya. "
"Maksudmu ? Lalu gimana dengan perusahaan kalian ?"
"Sudahlah, Bram. Terusin saja tendermu. Tidak akan ada yang menghalanginya. Salam buat Deo, ya." kata Dina sambil menyebut nama anak Bram, buah pernikahannya dengan Irin. "O, ya. Bilang ama Deo, email dia sudah aku terima. Gaya banget ya dia, kecil-kecil sudah bisa ngirim email."
"Ah, itu aku yang bikin."
"Ooo...jadi kata 'sayang' di situ dari kamu ya, bukan dari Deo ?"
"Hahahahaaa......"
"Oke, Bram. Selamat malam. "

Dina meletakkan begitu saja telepon itu. Sementara di seberang, Bram terdiam dengan sisa pertanyaan yang dia tidak tahu harus disampaikan ke siapa pertanyaan itu. Apalagi memperoleh jawabnya....